PENDAHULUAN

Binatang lahir ke dunia dilengkapi berbagai “senjata” untuk mempertahankan hidupnya. Ada yang diberi taring kuat seperti singa atau harimau, sehingga kalau lapar mereka cukup berburu mangsa. Lalu ada yang diberi sayap yang lebar dan cakar yang tajam seperti burung elang, sehingga kalau lapar mereka cukup terbang dan menyambar mangsanya dari atas. Ada juga yang dibekali otot-otot yang kuat seperti kuda dan banteng Afrika yang bisa berjalan berlari berpindah ribuan kilometer untuk mencari rumput segar sebagai makanannya.

Manusia lahir tak berdaya, tak berbekal senjata-senjata itu. Manusia
hanya dibekali otak untuk bernalar, berpikir dan menciptakan sesuatu untuk
kehidupan kita. Senjata yang dimiliki binatang sangat statis, tetapi fungsi nalar manusia untuk mempertahankan hidup sangat dinamis dan bisa ditingkatkan setinggi-tingginya melalui pendidikan dan kemudian ilmu pengatahuan.

Dulu manusia berburu, dengan nalar dan proses berpikirnya mereka
menciptakan senjata dari batu untuk berburu. Cara hidup seperti ini disebut
Masyarakat Berburu 1.0. Ilmu pengetahuan mulai berkembang, manusia
mengubah cara hidupnya dari berburu menjadi bertani, lahirlah Masyarakat
Agraris 2.0. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kemudian berkembang
lebih maju menghasilkan mesin uap dan lain-lain, lahirlah Masyarakat Industri 3.0. Iptek berkembang terus melahirkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mempermudah banyak pekerjaan manusia, lahirlah Masyarakat Informasi 4.0. Kini, teknologi seperti Internet of Things, Artificial Intelligence, Big Data dan Robot mulai memasuki setiap aspek kehidupan masyarakat dan akan mengubah cara hidup manusia. Peradaban manusia sedang menjelang satu perubahan lagi, i.e., Masyarakat Informasi 4.0 ke Masyarakat 5.01[1].

Evolusi masyarakat 1.0 s.d. 5.0 ini merupakan perkembangan peradaban, perjalanan akumulasi ilmu pengetahuan, perjalanan perkembangan nalar manusia. Dari kebutuhan sederhana, seperti senjata berburu di era Masyarakat 1.0 hingga ke superkomputer di era Masyarakat 5.0, semua merupakan hasil proses berpikir, merupakan hasil dari fungsi nalar
dan daya cipta (kreativitas) manusia. Fungsi nalar manusia ini tidak hanya
menghasilkan produk-produk fisik untuk kebutuhan jasmaninya saja, fungsi
nalar juga telah menghasilkan berbagai produk abstraksi seperti ideologi,
filosofi, atau keyakinan yang juga diperlukan manusia untuk hidupnya.

Fungsi nalar ditumbuh-kembang-buahkan melalui pendidikan.
Pendidikan sangat penting untuk perkembangan peradaban manusia, bahkan mungkin yang terpenting kalau kita melihat sejarah bagaimana negara-negara lain menjadi negara maju dan memimpin dunia di berbagai bidang. Para Founding Fathers Republik ini memahami betul hal ini, oleh karena itu menyatakan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu dari visi pendirian Negara ini di antara memajukan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia[2]. Dan kita perlu bersyukur bahwa pemimpin-pemimpin kita sekarang telah mencanangkan bahwa
pembangunan manusia dan penguasaan iptek ini sebagai pilar pertama pada
Visi Indonesia Emas 2045[3].

Cerita pendidikan di Republik ini sejak berdiri hingga sekarang belum
sampai pada sebuah episode yang menggembirakan. Berbagai masalah
mengemuka seperti isu mengenai watak atau budi pekerti, nilai literasi, sains dan matematika kita dibanding dengan negara lain, sarana dan prasarana yang masih terbatas, pemerataan kesempatan dan lain-lain.

Esai ini mencoba membahas mengenai implementasi nilai-nilai
keselarasan dan keadilan yang terdapat dalam Pancasila sebagai falsafah
bangsa dan ideologi negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

PEMBAHASAN

Wajah pendidikan Indonesia belum memperlihatkan wajah ceria dan menggembirakan menuju kehidupan bangsa yang cerdas sesuai dengan nilai-nilai Pancasila—sebagai falsafah dan ideologi yang menjadi tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa kondisi pendidikan saat ini yang perlu perhatian dan perbaikan adalah sebagai berikut:

[Sumber: https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2018/08/07/5318f0a8-f238-4f0e-a23e-aa8831d3ba9d_169.jpeg]
  • Watak atau karakter: Nilai-nilai budi pekerti (watak mulia) yang tertanam masih terlihat kurang. Padahal ini paling penting, sebagaimana pepatah mengatakan, “Kennis is macht, Karakter is meer.” (Knowledge is power, but character is more). Banyak pelajar kita yang melakukan tawuran dan berbagai kekerasan hingga mengganggu ketertiban umum[4]. Masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia merupakan salah satu akibat jangka panjang dari pendidikan moral yang kurang berhasil. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Pada tahun 2010 Indonesia menduduki urutan ke 110 dari 180 negara dengan skor 28[5], dan pada tahun 2019 menduduki urutan ke 85 dengan skor 40/100[6].
  • Kualitas pendidikan: The Programme for International Student Assessment (PISA) adalah survey 3 tahunan terhadap siswa usia 15 tahun untuk mengkaji tingkat penguasaan pengetahuan kunci (key knowledge) dan keterampilan dasar (essential skill) yang diperlukan para siswa untuk dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Hasil program ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat masih kurang[7] sebagai berikut:
    • Literasi rendah: Kemampuan baca siswa Indonesia menunjukkan nilai 371 di bawah nilai rata-rata negara-negara OECD, 487.
    • Matematika rendah: Kemampuan Matematika siswa Indonesia dengan nilai 379 di bawah nilai rata-rata negara-negara OECD 489.
    • Sains rendah: Kemampuan baca siswa Indonesia dengan nilai 396 di bawah nilai rata-rata negara-negara OECD, 489.
    • secara rata-rata Indonesia berada diperingkat ke 72 dari 77 negara.
Kecenderungan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika dan sains.
  • Memicu stress: Padatnya jadwal sesuai dengan kurikulum membuat siswa malah merasa tertekan bahkan alami stres[8]. Nuansa pendidikan sekarang masih merupakan warisan revolusi industri 2.0 yang memaksa manusia menjadi operator pabrik dan tidak konstruktif.
  • Pemerataan: Disparitas yang sangat curam baik dalam mutu proses pembelajaran, mutu guru maupun sarana prasarana merupakan masalah besar dalam dunia pendidikan di Indonesia, antara kondisi pendidikan di pusat dan di daerah, antara di sekolah unggulan dan di sekolah biasa, dan lain-lain.
  • Sarana dan Prasarana: Masih jauh dari memadai untuk tumbuh kembang anak baik jiwa maupun raganya. Pepatah bahwa ”di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat” masih sebatas jargon, belum diterapkan di sekolah-sekolah dasar di mana anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan yang cepat. Misalnya, kita mengaku negara maritim, tetapi banyak anak indonesia yang tidak bisa berenang, karena akses ke kolam renang bukanlah hal bisa dikatakan terjangkau.

Penutup

Dari latar belakang sebagaimana dibahas di atas, beberapa simpulan dapat ditarik sebagai berikut di bawah ini. Adapun simpulan ini berupa gagasan sebagai salah satu dari sekian alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas.

  1. Pendidikan Watak (Character Education) harus diperkuat. Watak lebih penting dari Ilmu. Dan hal ini merupakan cita-cita moral Pancasila baik dilihat dari dimensi teologis/religius, dimensi etis maupun dimensi integral-integratif. Pancasila mengingikan seluruh warga negara Indonesia memiliki watak mulia yang terbebas dari dominasi kebendaan, memiliki harkat dan martabat, bertanggung jawab dan berjuang untuk kemanusiaan dan keadilan di dunia[2]. Nilai-nilai keselarasan antara hakekat dan materi, antara individu dan sosial harus ditanamkan sejak dini dalam kurikulum sekolah.
    Dari perspektif kebangsaan, seorang negarawan Romawi Kuno, Cicero[9], mengatakan bahwa “within the character of the citizen, lies the welfare of nations,”. Lalu apa watak itu? Watak adalah satu set qualitas sifat kita, seperti kejujuran, kerendahan hati, keberanian, tanggung jawab, keramahan, determinasi ketika menghadapi kesukaran. Watak di sini adalah moral, atau budi pekerti yang didasari nilai-nilai religius, kekeluargaan, keselarasan, kerakyatan dan keadilan sebagaimana yang diamanatkan Pancasila.
    Nilai-nilai Pancasila tersebut perlu ditanamkan pada anak-anak kita sejak dini secara terstruktur dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Presiden Amerika ke 16, Abraham Lincoln[10] pernah mengatakan bahwa, “The philosophy of the classroom in one generation will be the philosophy of government in the next.” Pembangunan watak harus dimulai sejak dini, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa personality, yang menjadi inti watak (character core) itu rata-rata terbentuk sejak kecil[11] dan hampir tidak berubah selama beberapa dekade sampai dia dewasa kecuali ada pengalaman traumatik.
  2. Penyederhanaan mata pelajaran perlu dilakukan karena mata pelajaran sekarang itu terlalu banyak, dan masih kental bernuansa revolusi industri 2.0 di mana orang-orang dididik untuk memasok kebutuhan pekerja industri yang terkotak-kotak. Padahal otak manusia tidak dikotak-kotak seperti mata pelajaran yang ada sekarang. Anak-anak menjadi stress sejak dini. Dan ini tidak baik untuk kegiatan pembelajaran yang seharusnya menyenangkan dan produktif. Accelerated Learning[12] yang melibatkan keselarasan akal and badan, berbasis kreasi dan kolaborasi, berbasis multi-tasking dan learn by doing, dapat diadopsi dan diadaptasi dengan nilai-nilai keselarasan Pancasila untuk sistem pembelajaran di Indonesia.
  3. Peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana. Anak adalah titipan dan anugerah Tuhan sebagaimana nilai-nilai religius Pancasila. Mereka adalah pemimpin masa depan. Sarana prasarana untuk tumbuh kembang mereka, mulai dari sekolah sampai akses menuju sekolah harus disiapkan sebaik-baiknya sebagai tanda syukur dan niat kita untuk membangun masa depan meraih-wujudkan cita-cita negara, yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
  4. Pemerataan. Penulis dan beberapa rekan telah mencoba membangun satu sekolah dasar sebagai implementasi nilai-nilai keadilan Pancasila dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah ini diberi nama Sekolah HikARi (Hikmah Anak negeRI), suatu sekolah kampung berwawasan nusantara, menjunjung tinggi kearifan lokal dan sadar akan perkembangan global. Sekolah ramah anak dan menyenangkan. Sekolah Hikari hadir untuk anak-anak Negeri meniti kemandirian, memupuk kemampuan bekerja-sama (Persatuan Indonesia). Sekolah Hikari bukan sekolah eksklusif Islam Terpadu atau sekolah eksklusif Katolik. Anak semua etnis, semua agama dapat bersekolah di sini. Anak Yatim bebas biaya, yang kurang mampu bisa membayar dengan kotoran ternak, sampah daur ulang atau bekerja dua hari di sekolah dalam sebulan, yang kaya membayar dengan biaya yang reasonable dan terjangkau. Sekolah ini mengimplementasikan nilai-nilai keadilan sosial untuk masyarakat.

Daftar Pustaka

  1. Cabinet Office of Japan (Kantor Kabinet Jepang). 2020. Society 5.0
    https://www8.cao.go.jp/cstp/english/society5_0/index.html
  2. Lemhannas RI. 2020. Bidang Studi Empat Konsensu Dasar Bangsa. Sub Bidang Studi Pancasila. Jakarta.
  3. Kementererian PPN/BAPPENAS. 2019. Visi Indonesia 2045: Manfaatkan Bonus Demografi Demi Wujudkan Indonesia Maju. https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/jakarta-menterippnkepala-bappenas-bambang-brodjonegoro-berbicara-mengenaipentingnya-penyelarasan-visi-indonesia-2045-dengan-vi/. diakses 09.04.2019.
  4. DetikNews. 2020. Viral Sekelompok Pelajar SMA di Depok Tawuran hingga Masuk Mal.
    https://news.detik.com/berita/d-4857325/viral-sekelompokpelajar-sma-di-depok-tawuran-hingga-masuk-mal/2. diakses 27.05.2020
  5. Transparency International. 2010. Corruption Perception Index 2010. Berlin.
  6. Transparency International. 2020. Corruption Perception Index 2019. Berlin
  7. OECD. 2018. PROGRAMME FOR INTERNATIONAL STUDENT ASSESSMENT (PISA) RESULT FORM PISA 2018. Country Note Indonesia.
  8. Pikiran Rakyat. 2019. Sistem Pendidikan Indonesia Rentan Picu Stres, Mendikbud Didesak Lakukan Revolusi. https://www.pikiranrakyat.com/pendidikan/pr-01324449/sistem-pendidikan-indonesiarentan-picu-stres-mendikbud-didesak-lakukan-revolusi. 06.12.2019. diakses 26.05.2020.
  9. Daily Herald. 2013. “What is Character Education and why do we need it?” LIFE LEARNING.
    https://www.heraldextra.com/studentnews/health/what-is-charactereducation-and-why-do-we-need-it/article_1b6b9e14-157c-11e3-aeb0-001a4bcf887a.html. 04.09.2013. diakses 27.05.2020
  10. Hanna, P.R. 1902. Assuring Quality for The Social Studies in Our Schools. Hoover Press Publication 350. Standford, California.
  11. Nave, C.S. 2010. “On the Contextual Independence of Personality: Teachers’ Assessments Predict Directly Observed Behavior after Four Decades.” Soc. Psychol. Personal Sci. 3 (1). 1-9.
  12. Rose, C. and M.J. Nicholll. 1998. Accelerated Learning for the 21st Century. Dell Publishing. New York.