Month: October 2012

Prinsip-Prinsip Pembelajaran Terpercepat | Principles of Accelerated Learning

1. Pembelajaran melibatkan Akal and Badan.

Pembelajaran bukan hanya mengasah akal (otak kiri: kesadaran, nalar, logika, berhitung dan bahasa). Pembelajaran harus melibatkan keutuhan akal dan badan dengan emosinya, rasanya, dan semua fungsi inderanya.

Sebuah pepatah mengatakan, “Katakan padaku, aku mungkin lupa. Perlihatkan padaku, aku mungkin ingat. Libatkan aku, dan aku akan mengerti.” Indera pendengaran (audio) bukan merupakan jaringan saraf yang kuat dalam sistem otak kita. Indera penglihatan (visual) merupakan salah satu jaringan saraf yang kuat, oleh karena itu dianjurkan untuk menggunakan efek visual dalam pembelajaran. Tetapi yang lebih baik lagi adalah pembelajaran dengan melibatkan seluruh indera: dengar, lihat, rasa,…..dengan keterlibatan secara langsung (lihat juga prinsip No. 5).

2. Pembelajaran adalah kreasi, bukan konsumsi.

Pengetahuan bukanlah sesuatu yang bersifat konsumtif –kalau sudah puas selesai dan meninggalkan sampah. Pengetahuan adalah sesuatu yang kita ciptakan atau kita bangun. Dan pembelajaran terjadi ketika kita mengintegrasikan pengetahuan/informasi dan keterampilan baru pada struktur keberadaan kita. Secara literal pembelajaran dapat berarti menciptakan atau membangun arti baru atau pemahaman baru, jaringan saraf baru –sinaptic dari neuron di otak kita–, dan pola interaksi elektro kimia dalam sistem otak dan tubuh.

3. Pembelajaran secara Kolaborasi.

Semua pembelajaran mempunyai dasar sosial, baik interaksi dengan sesama maupun lingkungan. Belajar langsung melaui interaksi lebih efektif dari cara apapun. Kompetisi di antara kita sebagai pembelajar akan memperlambat proses pembelajaran atau perolehan ilmu. Kerjasama di antara kita akan mempercepat proses pembelajaran. Ilmu begitu luas, begitu dalam dan begitu tinggi di sekililing kita. Kita masing-masing merupakan individu-individu yang unik berbeda satu sama lain. Mengapa kita harus berkompetisi dengan sesama. Kompetisi, challenge atau fight kita yang terbesar adalah dengan diri kita sendiri, dengan kemalasan kita, dengan nafsu kita yang selalu ingin instan.

4. Pembelajaran terjadi dalam banyak tingkatan secara bersamaan.

Pembelajaran bukan penyerapan satu hal dalam satu waktu. Tetapi menyerap banyak hal dalam satu waktu. Pembelajaran yang baik terjadi pada setiap orang dalam berbagai level secara bersamaan (sadar dan bawah sadar, fisik dan mental). Pembelajaran yang baik menggunakan seluruh reseptor, rasa dan jaringan saraf pada sistem otak dan tubuh. Otak adalah paralel processor bukan sequensial, otak teralatih terasah ketika menghadapi tantangan untuk mengerjakan banyak hal dalam satu waktu. Misalnya, tangan kanan menggosok gigi, tangan kiri beresin alat-alat mandi.

5. Pembelajaran diperoleh ketika kita melakukan pekerjaan itu sendiri

Pembelajaran yang terbaik adalah dalam konteks. Apa yang kita pelajari dalam keadaan terisolasi susah untuk diingat dan begitu mudah untuk menguap. Ingat berapa persen yang kita ingat pelajaran yang kita pelajari dari sd hingga sma? Kita belajar berenang sebaiknya dengan melakukan renang, bukan membaca jurus-jurus renang, kita belajar manajemen dengan mengelola sesuatu, kita belajar bernyanyi sebaiknya dengan cara bernyanyi, kita belajar menjual sebaiknya dengan langsung berjualan. Sesuatu yang nyata dan konkrit adalah wahana pembelajaran yang terbaik. Namun tentu dalam hal ini kita perlu waktu juga yang cukup untuk melakukan umpan balik, refleksi, merenung dan tafakur.

6. Emosi positive meningkatkan pembelajaran

Perasaan sangat menentukan baik kualitas maupun kuantitas pembelajaran. Perasaan negatif menghambat pembelajaran, sebaliknya perasaan positif mempercepat pembelajaran. Pembelajaran yang penuh stress dan menyiksa akan menghambat atau mengaburkan bahwa pembelajaran itu sebenarnya menyenangkan.

7. Otak manusia lebih cenderung ke visual

Seperti kata pepatah, a picture speaks a thousand words, (sebuah gambar bercerita seribu kata), otak manusia lebih menyerupai image processor dari pada word processor. Informasi visual atau gambar nyata lebih mudah diserap dan lebih lama tersimpan di memori dari pada abstraksi kata-kata. Penggunaan efek visual atau bahkan contoh konkrit akan mempercepat pembelajaran daripada ngacaprak panjang lebar.

Pustaka

  1. Meier, D. (2000), The Accelerated Learning Handbook, McGraw-Hill, New York.
  2. Rose, C. and Nicholl, M.J., Accelerated Learning for the 21st Century:The Six-Step Plan to Unlock Your Master-Mind, A Dell Trade Paperback, New York.

Giving up doesn’t always mean you are weak, sometimes it means that you are strong enough to let go

Change is never easy. You fight to hold on. You fight to let go.

THE WONDER YEARS

Dalam perjalanan hidup, kita meraih sesuatu, mencintai sesuatu dan kehilangan sesuatu. Seorang anak mungkin harus ikhlas menyerah akan mimpinya menjadi pemain bola karena berbagai alasan, walaupun dia sudah investasikan waktu dan tabungannya. Seorang remaja mungkin harus putus dengan pacarnya karena berbagai alasan pula. Seorang pelajar muda mungkin harus menyerah masuk jurusan yang dia inginkan begitu hebat di perguruan tingginya, tentu dengan berbagai alasan pula.

Kebanyakan celoteh, saran, tulisan, artikel maupun buku tentang motivasi kehidupan seringkali menyuarakan bahwa kita harus bertahan, hold on, keep fightingnever give up atau apapun yang senada. Jarang sekali saya menemukan kalimat yang mengajarkan kita bagaimana caranya untuk “menyerah/mengalah/melepaskan/mengundurkan diri dengan baik,”. (Bagi mereka yang berlebaran mungkin Al-Baqarah:216 cukup menjadi pedoman)

Salah dua dari sekian jarang buku yang memperkenalkan bagaimana cara mengalah atau mundur tersebut adalah buku “Integrity” nya Henry Cloud dan “The Last Lecture”nya Randy Pausch.

Dalam bukunya Dr. Cloud bercerita bahwa dia pernah menjadi konsultan sebuah perusahaan yang merugi jutaan dolar akibat sang direktur secara emosional tidak mampu melepaskan sebuah agenda perusahaan yang betul-betul mentok alias buntu. Karena ketidakmampuan sang direktur untuk mengalah ini, dia telah mengantarkan perusahaannya jatuh mendekati kehancuran. Sang direktur memiliki integritas yang baik, dia juga dikenal sebagai seorang yang jujur. Tetapi dia juga tidak mampu menghadapi kenyataan bahwa dia harus kehilangan sesuatu yang telah dia invest. Padahal setiap pemimpin dari waktu ke waktu harus mampu mengalah atau mundur selangkah untuk melakukan regroup, recover dan meraih sukses.

Sedangkan Dr. Pausch dalam bukunya menulis, “Dengar, saya akan menemukan cara untuk bahagia, dan saya sangat senang kalau saya bisa berbahagia bersama mu, tetapi kalau saya tidak bisa berbahagia dengan mu, maka saya akan menemukan cara untuk berbahagia tanpa mu.” .

Kapan kita harus mundur atau mengalah, kapan juga kita harus tetap bertahan –seperti seorang keras kepala atau mungkin lembam tak berdaya– memang merupakan sebuah fungsi dengan variabel waktu dan keadaan. Tidak serta merta setiap menemukan kesulitan kita harus segera menyerah. Kata orang jepang “akinai san nen”, arti harfiahnya urusan itu tiga tahun baru terlihat kecenderungannya. Segala sesuatu itu perlu waktu. Tetapi sekali lagi bukan tanpa batas.

Terakhir ijinkan saya menutup celoteh ini dengan:

Some of us think holding on makes us strong, but sometimes it is letting go.

HERMAN HESSE

SEMARAK FOUNDATION