Tiada kekayaan yang lebih utama daripada nalar. Tiada kepapaan yang lebih menyedihkan daripada kebodohan (ketidakpedulian). Tiada warisan yang lebih baik daripada pendidikan.
aLI BIN ABI THALIB
Sejak alas kaki mungkin terpasang, lalu langkah demi langkah terayun sampai derap akhir tiba di tempat yang kita tuju, makna suatu perjalanan tidak terletak hanya pada tiba sekejap mata. Tetapi pada setiap temuan dan kehilangan, pada setiap senyuman dan tangisan, …dalam perjalanan itu sendiri. Lupakan semua yakin dan ragu, ungkapkan niat dalam langkah nyata. Mewujud hasil bukan berarti akhir, menampak gagal bukan fatal, karena makna terletak pada ketabahan dan keberanian untuk tetap ayunkan langkah.
Saya melihat dua gunung menjulang tinggi di hadapan. Gunung yang satu sangat subur, hijau kaya akan hutan.Orang-orang memelihara gunung ini—mungkin dengan baik. Budidaya apapun dapat dilakukan di gunung ini, tanaman apapun dapat tumbuh hijau, sehat dan kuat. Gunung yang lainnya, gersang dan tandus. Karena keterbatasan “sumber daya” termasuk niat, visi, ketabahan dan keberanian, kebanyakan orang-orang cenderung mengabaikannya. Padahal mungkin di gunung yang gersang ini terdapat juga berbagai potensi. Bukan mungkin, saya yakin itu ada, mungkin emas, mungkin intan, mungkin mineral yang lain saya tidak tahu apa, tapi saya yakin potensi itu ada. Karena saya yakin Tuhan menciptakan semesta dengan alasannya.
Ketika Tuhan menawarkan dua gunung ke hadapan kita, lalu kita hanya mensyukuri satu gunung di antaranya, tidakkah kita membatasi diri kita sendiri dari manfaat yang tengah Tuhan tawarkan?
Kawan, kedua gunung tadi adalah potret saudara-saudara kita di sini, di sekitar kita di tanah air kita. Saudara-saudara kita yang mampu dapat menyekolahkan, menggali potensi anak-anak mereka, di sekolah-sekolah yang serba CUKUP. Cukup fasilitas, cukup tenaga pendidik baik dalam hal jumlah maupun mutu. Saudara-saudara kita yang lain, tidak seperti itu. Kalaupun mereka dapat menyekolahkan anak-anaknya, sekolah anak-anak mereka semuanya serba terbatas.
Bayangkan 6 tahun masa pendidikan mereka. Anak-anak dari saudara kita yang mampu tentu lulus dengan kualifikasi tertentu, sedangkan anak-anak dari saudara kita yang tidak mampu tentunya lulus dengan kualifikasi yang terbatas pula.
Lahir lah kesenjangan dari pemberian KESEMPATAN yang berbeda dan kurang “fair” ini. Dan kesenjangan ini akan semakin lebar seiring dengan mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak gunung hijau masuk ke SMP, SMU, atau perguruan tinggi yang TOP. Anak-anak gunung tandus masuk ke SMP serba terbatas, kalau nasib sedikit berpihak, mereka terus sampai SMK yang terbatas pula. Kebanyakan mereka gugur di SMP, jadi tukang ojeg, cleaning service, satpam atau preman. But life must go on, mereka melanjutkan keturunan, anak-anak mereka kurang lebih seperti itu pula, lalu terbentuklah mata rantai kurang berkenan yang kita lihat sekarang ini.
Semua anak-anak Ibu Pertiwi adalah sumber daya negeri yang sangat berharga—brainware, baik mereka yang dari gunung hijau maupun dari gunung tandus. Sumber daya negeri ini lebih tinggi nilainya dari emas di Irian, lebih berharga dari hutan kayu di Kalimantan. Mereka adalah pemimpin masa depan.
Runtuh bangunnya negeri ini kelak ada di tangan mereka, dan lemah tangguhnya mereka itu sangat tergantung bagaimana kita sekarang mempersiapkannya. Teman-teman yang dulu sekolah di negeri Sakura mungkin bisa mengamati bagaimana orang-orang Jepang menyediakan sarana belajar untuk anak-anak mereka. Bangunannya sangat kokoh bahkan boleh dibilang over structured,… semua sekolah bahkan menjadi tempat evakuasi saat terjadi bencana, karena memang dibangun sangat aman. Bukan hanya sekolah, trotoar jalan pun mereka buat sangat nyaman untuk anak-anak berjalan menuju sekolah. Mereka benar-benar melindungi (mensyukuri) sumber daya negeri mereka—anak-anak mereka. Belum lagi semangat dan tulusnya guru-guru mereka. Bandingkan dengan apa yang telah kita lakukan terhadap anak-anak kita. Untuk pergi ke sekolah pun mereka kadang harus berjalan di samping kendaraan-kendaraan. Jalan yang rusak, berdebu, bersampah dan kendaraan-kendaraan yang kadang tidak punya etika berlalu lintas,betul-betul bukan potret suatu peradaban.
Saya yakin kita semua setuju bahwa tidak ada seorangpun anak yang memilih untuk lahir di keluarga gunung tandus. Memang tanggung jawab terbesar untuk anak-anak terletak pada kedua orang tuanya, yang telah mengajak mereka individu-individu yang suci lahir dan menyaksikan dunia yang pelik dan penuh kontradiksi ini. Tetapi saya kira ada juga tanggung jawab “keumatan” atau porsi yang perlu kita lakukan bersama, kalau kita memang mau membangun negeri ini.
Kampung Koceak, Desa Keranggan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, berdampingan dengan Puspiptek, berjarak sekitar 8 km dari Bumi Serpong Damai, –Big City Big Opportunity dan sekitar 25 km dari Jantung Ibukota Jakarta.
Kampung ini merupakan tipikal kampung-kampung di Indonesia. Kurang lebih enam ribu (6000) kepala keluarga berpenghasilan rata-rata Rp. 15,000 perhari. Jauh lebih rendah dari definisi masyarakat BOP (Base or Bottom of Pyramid) menurut UNDP, mereka adalah sebagian dari saudara-saudara kita dari masyarakat gunung tandus. Ada dua Sekolah Dasar atau sederajat di sini, satu SDN dan satu MI. Mereka adalah tipikal SD dan MI di Indonesia, semua fasilitas serba terbatas.
SDN dan MI ini termasuk sebagian dari sekolah-sekolah yang kami bantu. Kami bagikan alat-alat tulis, buku, alat olah raga dan infaq untuk sekolah ini. Kami juga pernah mengajak mahasiswa-mahasiswi Jepang calon guru untuk berinteraksi dengan murid-murid di sini. Mereka sangat senang, hanya dengan kehadiran orang asing dapat berinteraksi dengan mereka. Karena bagi mereka dan orang tua mereka mungkin Jepang masih merupakan “alam gaib”, sama seperti akherat untuk kita. Mereka tahu dan percaya itu ada, hanya karena seseorang yang bisa mereka percaya mengatakannya demikian.
Dari sekian lama berinteraksi dengan masyarakat di sini, tahun 2010, kami memberanikan diri membina satu sekolah, yaitu Sekolah Hikari. Mudah2an menjadi komplemen sinergis bagi sekolah yang ada dan sekaligus alternatif bagi anak-anak di sekitar.
Sekolah Hikari adalah sekolah umum, sekolah rakyat, sekolah anak negeri. Tidak untuk ras tertentu, tidak untuk umat tertentu. Kurikulum dikembangkan mengacu kepada Standard Isi tahun 2006 menurut BSNP, dengan menitik-beratkan pada pendidikan karakter pada tiga tahun pertama dan literasi pada tahun keempat dan seterusnya. Sistem pendidikan di Sekolah Hikari diarahkan dengan mempertimbangkan multiple intelligence and accelerated learning. Berbagai metode coba dikembangkan untuk menjaga bahwa learning has to be fun.
Tata kelola pendidikan dan pembelajaran didukung oleh tenaga-tenaga ahli pendidikan dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah dan Human Development Faculty of Toyama University.
Kurikulumnya juga diperkaya dengan pendidikan lingkungan, mulai dari pengelolaan sampah, sumber daya air dan kearifan lokal.
Tidak ada ranking atau peringkat di Sekolah Hikari. Tidak ada tinggi hati karena ranking atas, tidak ada rendah diri karena ranking bawah. Semua anak adalah individu yang unik dan berbeda. Mereka diharapkan mempunyai motivasi untuk meraih apa yang mereka ingin capai bukan motivasi untuk memiliki peringkat lebih dari yang lain atau mengalahkan yang lain. Mereka diharapkan mampu dulu memimpin diri mereka masing-masing, berjiwa bebas dan berdaulat untuk dirinya sendiri. Ada muslim time untuk yang beragam Islam, dan pelajaran agama lain sesuai keyakinannya, serta ekskul Bahasa Jepang. Pengenalan Bahasa Jepang diselenggarakan bukan menuntut si kecil untuk fasih berbahasa Jepang, melainkan untuk memberikan stimulan linguistic intelligence mereka, yang insyAllah intelligence2 mereka yang lain juga diharapkan turut teraktivasi. Dan,…kembali ini juga hanya memanfaatkan sumber daya yang sementara kami miliki sekarang. Beberapa volunteer orang Jepang mau berbagi waktu untuk kami.
Sekolah Hikari dibangun dengan mempertimbangkan konsep kelestarian lingkungan. Tinggi rendah kontur tanah tidak diratakan, malah dimanfaatkan untuk perkembangan baik motorik anak-anak.
Mainan terbuat dari bambu dan ban bekas. Karena memang mampu kami baru seperti ini, dan anak-anak diharapkan mengenal konsep “kearifan lokal” sejak dini. Ventilasi dan letak pohon diatur sedemikian rupa sehingga sirkulasi udara dalam kelas terjadi secara konveksi alami hemat energi. Sistem drainase atau rain water run-off, hanyalah saluran berbatu bukan gorong2 beton. Saluran berbatu pun hanya memanfaatkan spanduk bekas yang dibolongin, bukan landscape fabrics yang mahal. Air hujan diharapkan ada yang meresap ke tanah tidak semua mengalir begitu saja.
Sekolah Hikari dibangun untuk memperluas kesempatan kepada anak-anak negeri mengenyam pendidikan dalam persaingan yang lebih “fair”. Tetapi kembali, kadang dalam hidup, kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan sehingga kita tidak dapat membangun sesuatu yang ideal, menurut kita. Tetapi kita harus “deal with it”, karena yang kita perlu kerjakan bukanlah membangun sesuatu yang “ideal”, melainkan melakukan yang terbaik dalam keterbatasan sumber daya yang ada. Karena, Rosulullah juga memberikan teladan demikian.
Biaya masuk Sekolah Hikari untuk SD Rp. 1.6 jt bisa dicicil 10 bulan. Sekolah swasta yang lain ada yang sampai 15 jt hingga 22 jt. Biaya bulanan sekolah Hikari Rp. 105 rb, yang lain bisa sekitar 660rb hingga 1jt untuk saat ini. Untuk masyarakat lokal, Sekolah Hikari memberikan keringanan 20% iuran bulanan, sisanya yang 80% atau sekitar Rp. 80 rb, boleh dibayar dengan kotoran kambing, sapi atau kompos yang senilai. Bagi mereka yang tidak bisa membayar dengan kotoran kambing/sapi, mereka bisa membayarnya dengan tenaga, 2 hari dalam sebulan, kerja bakti bantuin tukang kebun Sekolah (Pak Fadil).
Kalau tahun depan mendapat BOS, InsyAllah biaya-biaya ini bisa menjadi lebih murah,..atau setidaknya tidak naik seperti halnya biaya sekolah2 lain.
Ya Rabb, bimbinglah kami untuk selalu tabah dan berani menghadapi apapun yang Engkau tawarkan….
Leave a Reply